SERAUT WAJAH SENJA
Aku selalu  suka senja, membuatku tenang, nyaman, bagai berada dalam suatu masa yang hanya bisa kumengerti sendiri. Bagiku senja adalah waktu privasi,  yang tak bisa diganggu gugat oleh sesiapa. Senjaku, membuat rindu  ini membuncah tak tertahankan, ia selalu ingin meledak bagai supernova,  hingga akhirnya meninggalkan kesan tak terlupakan. Awalnya kukira  senjakulah yang paling indah, tapi ternyata setelah bertemu dengannya,  persepsiku segera berubah. Senja yang satu ini bak bidadari yang turun  dari khayangan, bukan hanya sekedar menerbitkan rasa ingin bertemu, tapi  juga ingin memiliki, menyimpan untuk diri sendiri dan tak ingin  berbagi. Sebut saja Aku serakah, aku tak peduli, asal aku bisa melihat  raut wajahnya setiap hari.
Aku masih  ingat saat pertama kali melihatnya, sekitar 10 tahun yang lalu.  Seperti biasa, saat senja menyapa, aku selalu menghabiskan waktuku di  pantai, aku suka menatap langit jingga saat matahari akan tenggelam  selama beberapa jam, mencoba beristirahat dan berganti tugas dengan  bulan yang akan menjaga bumi sampai pagi kembali menjelang. Bagiku, itu  adalah penggalan waktu yang paling indah, seandainya aku tinggal di  planet tempat pangeran kecil berada, mungkin sepanjang hariku hanya akan  kuhabiskan untuk menatap matahari terbenam. Tiba-tiba dia hadir bagai tamu yang  tak diundang, tanpa basa-basi langsung duduk disampingku, tapi tak ada  kata yang keluar dari bibir indahnya, dia hanya diam membisu dan kami  berdua cukup nyaman dengan keadaan itu. Awalnya aku berpikir bahwa itu  adalah pertemuan pertama dan terakhirku dengannya, tapi siapa sangka  ternyata pertemuan itu berlanjut hingga keesokan harinya, esoknya lagi,  lagi dan lagi, sampai pada batas waktu yang tak kutahu pasti.
“Aku suka senja,” ucapku memecah keheningan yang tercipta diantara kami berdua. Dia hanya tersenyum, 
“kamu?” tanyaku tak mau menyerah supaya dia mau bersuara.
“Aku adalah  senja, bagaimana mungkin aku tak menyukai diriku sendiri,” dia bicara  dengan lembut, selembut raut wajahnya. Aku tak mengerti maksud ucapannya, jadi kusimpulkan saja bahwa namanya adalah  Senja. Benar atau tidak, sampai sekarang aku tak pernah tahu.
“Aku Biru,”  ucapku, padahal dia sama sekali tidak bertanya. Entahlah, aku hanya  ingin dia mengenalku, walau mungkin dia bahkan tak pernah peduli pada  hal-hal kecil seperti itu. Lagi-lagi dia tersenyum setelah mendengarku  bicara, mungkin hanya untuk menghargai.
“Senja dan  Biru, dua hal yang sangat berbeda” tiba-tiba dia bersuara, kali ini  akulah yang tersenyum, bukan karena aku berbahagia, melainkan tak tahu harus berkata apa. Bukankah Senja dan Biru  hanyalah sekedar nama yang tak berarti apa-apa? Aku menyesal telah  memperkenalkan namaku bila itu ternyata sangat berpengaruh baginya. 
Dan  selanjutnya aku selalu kembali ke pantai itu saat senja menyapa, kali  ini tidak lagi untuk menikmati pemandangan indah yang ada di batas  horizon sana, melainkan untuk menatap wajah senjaku, mendengarkan cerita  dan tawa renyahnya, aku tak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang  yang menganggapnya tak nyata, yang kutahu, aku selalu nyaman berada  disampingnya. itu saja sudah lebih dari cukup. Sampai suatu hari dia menghilang tiba-tiba, entah mulai bosan mendengar ceritaku, atau memang ada keperluan mendadak, bisa jadi hanya sekedar ingin pergi saja. Walau senja tak lagi datang menghampiri, aku tetap kembali ke tempat ini, sampai pada batas waktu yang tak kutahu pasti.
*a (very) short story hasil iseng-isengan dini hari #akibatinsomnia
 
 Diposting oleh
Diposting oleh
 




 
0 komentar:
Post a Comment