0
DO YOU BELIEVE IN FAIRY TALES?


Rumah itu sunyi, bukan karena tak berpenghuni, hanya jarang dikunjungi. Pemiliknya seperti tak bernyawa, cuma singgah saat malam tiba, itupun tanpa banyak kata-kata. Tapi anehnya, aku selalu datang dan kembali ke tempat itu, entah mengapa rasanya begitu nyaman, bagai melihat diri sendiri, bahkan saat si penghuni sudah tak datang berhari-hari, aku tetap menghampiri dan melihat segala sesuatu yang ada disana sini tanpa meninggalkan secuil jejak kaki, dan juga tak berani terlalu jauh menyelidiki, karena aku takut, takut pada sosok yang bahkan tak kukenali. 

Aku pernah mendengar cerita suram tentang si pemilik rumah, ada yang mengatakan bahwa dia adalah makhluk keras hati yang selalu ingin bersembunyi, yang tak pernah bisa mencintai orang lain melebihi dirinya sendiri, bahkan bila dihadapkan dengan perempuan paling cantik di dunia sekalipun. Dia bagai patung es, dingin, tapi juga indah. Ada juga yang mengatakan bahwa dia sosok pemarah yang tak kenal ampun, siapapun akan dibantai bila ada yang tak berkenan dihatinya. Dan cerita yang paling popular adalah bahwa dia pangeran tampan yang dikutuk menjadi makhluk buruk rupa oleh seorang peri yang merasa sakit hati karena ditolak cintanya. Entah mana yang benar aku tak tahu pasti, semua cerita itu membuatnya semakin misterius. Diam-diam aku suka datang kerumah ini dan berharap dia tak pernah tahu kedatanganku, atau sebenarnya aku berharap dia tahu. Entahlah, aku tak mengerti. Hingga pada suatu hari ada seseorang yang memegang pergelangan tanganku saat aku sedang mengendap-ngendap tanpa suara, genggamannya sangat kuat, sampai-sampai aku takut tulangku akan rontok. Saat dia keluar dari persembunyiannya, aku kaget bukan main dan sekaligus kecewa tentu saja. Pemilik rumah yang kukira lelaki tampan misterius, ternyata hanyalah seorang nenek yang sangat ringkih, dia mirip sekali dengan penyihir dalam cerita Hansel & Gretel, bedanya rumah ini tidak terbuat dari kue yang lezat. Aku ketakutan. Dia terkekeh memperlihatkan barisan giginya yang kuning. Aku meringis. Tawanya semakin keras.

“mau kumakan hidup-hidup, atau dimasak dulu?”

Entah mana yang lebih baik, tapi yang jelas kedua pilihan itu sama sekali tak menarik. Seandainya bisa memilih, aku ingin disihir menjadi kodok saja, siapa tahu akan ada pangeran tampan yang mau menciumku, dan akupun akan berubah menjadi putri yang cantik jelita. Ya, tentu saja itu tidak mungkin, wujud manusiaku tak bisa dikatagorikan sempurna, apalagi bila sudah sempat bertransformasi menjadi kodok, paling-paling masih tersisa bentuk kodok pada tubuhku. Ah aku benar-benar tak bisa berpikir jernih saat ini.

“hey anak muda, kenapa tak menjawab pertanyaanku? Kau mau rusa itu dimakan mentah-mentah atau dimasak dulu?”

Ha! Kenapa sekarang pertanyaannya berbeda? Atau mungkin akulah yang salah dengar? Tapi tetap saja pertanyaannya tidak normal. “Aku… tidak lapar,” jawabku pelan.

“kalau bukan mencari makanan, lalu apa yang kau cari di rumah ini?”

Nah, kalau itu pertanyaannya, aku bisa menjawab dengan pasti, “Aku mencari pemilik rumah ini,” (dengan asumsi, nenek aneh itu adalah pembantu yang menawarkan makanan pada siapa saja yang datang kemari). Dia terkekeh, “lalu kau kira aku ini siapa?”

“Tapi…. tapi berita yang tersebar katanya pemilik rumah ini adalah lelaki tampan yang dikutuk oleh peri,” Tawa nenek itu semakin menjadi-jadi, memperlihatkan gigi kuning yang lebih banyak lagi. Aku heran, dia sudah tua tapi giginya masih utuh, mungkin itu pengaruh sihir.

“Nak, kalau kau mau bertemu dengan The Beast, atau Ksatria yang bernafsu mencium perempuan yang suka tidur berlama-lama, atau ingin mencari pangeran tampan yang terobsesi pada pembantu yang kehilangan sebelah sepatunya, maka jangan datang kerumah ini, Pergilah ke negeri dongeng. Siapa tau kau akan bertemu dengan 7 kurcaci dan mereka akan menjadikanmu ratunya, tapi 1 hal yang harus kau ketahui, negeri dongeng tidaklah seindah yang kau bayangkan. Kenyataan yang ada disana kadang-kadang berbanding terbalik dengan apa yang dikisahkan selama ini.” Dia terkekeh lagi.

“Tau darimana?”

“Aku menghabiskan waktuku disana, sebelum akhirnya memutuskan untuk pindah kemari,”

“Di sana nenek jadi siapa? Ibu tiri yang jahat? atau penyihir yang menculik Rapunzel? Yang pasti bukan Cinderella atau Snow White yang cantik jelita,” aku menahan tawa.

“Peter Pan” jawabnya tiba-tiba.

“Hah? Maksudnya?”

“Ya, Aku adalah Peter Pan,”

“Semua orang tahu Peter Pan itu laki-laki”

“Itukan apa yang diceritakan. Kau kira kenapa Wendy meninggalkanku? katanya dia ingin menikah dengan lelaki dan mempunyai anak-anak yang lucu. Tak kusangka pria itu adalah Kapten Hook yang sama sekali tidak tampan. itulah alasan sebenarnya kenapa aku sangat membenci bajak laut itu.”

Aku tak mau dengar, Aku tak mau percaya, Aku benar-benar menyesal bertanya padanya. Peter Pan adalah salah satu tokoh dongeng favoritku, dulu waktu masih kecil, aku sempat jatuh cinta padanya, hingga usiaku bertambah dan aku mulai jatuh cinta pada tokoh dongeng yang lebih dewasa. Nenek ini benar-benar menghancurkan semua bayanganku tentang indahnya Neverland.

“Kau boleh saja tak percaya, tapi itulah kenyataannya. Aku tidak bohong. Wendy membuatku patah hati, lalu aku memutuskan untuk pindah kemari, dan akhirnya menjadi perempuan tua dalam seketika.”

“Kau mau tahu cerita yang lainnya?”

Walaupun aku tak ingin khayalanku diacak-acak, tapi tak tahu kenapa, aku malah tak bisa berkata apa-apa. Sehingga dia mengartikan diamku sebagai jawaban iya. Terkutuklah pepatah “diam itu emas.”

“The Beast mati sia-sia, karena Belle tak pernah mencintainya dengan tulus, dia hanya mencoba menarik perhatian lelaki malang itu supaya bisa mengambil alih kekayaan dengan tenang tanpa gangguan. bayangkan saja, perempuan cantik mana yang bisa jatuh cinta pada lelaki berkepala singa?”

“Cinderella tetaplah menjadi upik abu. saat pangeran datang, kakinya baru saja terkilir dan membengkak sehingga sepatu itu tidak muat, sedangkan yang sebelahnya lagi tak tahu dia letakkan dimana, anak itu memang ceroboh dan agak kikuk,”

“Ibu tiri snow white tidaklah sejahat yang diceritakan selama ini, dia tidak pernah memberikan apel beracun itu. Terakhir aku berada disana, Snow White masih mengasuh 7 kurcaci, pangeran sama sekali tak berniat mencarinya dan malah menikahi si ibu tiri. Ternyata gosip itu benar, pria itu suka pada wanita yang lebih tua.”

“Dan Aurora, tidak pernah bangun dari tidur panjangnya. Dulu pada masa awal hibernasi, ada seorang ksatria yang menciumnya penuh nafsu, tiba-tiba dia terbangun dan menampar lelaki malang itu. Dia marah karena tidurnya terganggu dan mimpinya terputus. Tapi setelah bertahun-tahun tak ada lagi yang mau menciumnya. Mana ada lelaki yang selera mencium perempuan dengan air liur dimana-mana dan penuh debu, seperti mannequin yang tak pernah dipajang dan dibiarkan membusuk di dalam gudang.”

“Siapa lagi yang ingin kau ketahui? Si kecil Thumbelina? Dia benar-benar seorang gadis petualang, syukurlah dia berhasil bertemu dengan pangeran negeri bunga. Asal tau saja, itu satu-satunya cerita yang sama dengan kisah aslinya, walaupun di negeri kalian tidak pernah diceritakan bahwa pria itu sempat selingkuh beberapa kali, maklumlah dia tampan dan banyak yang suka. Thumbelina terpaksa bertengkar dengan beberapa peri bunga perempuan untuk mendapatkan hati pangeran secara utuh, tapi yang penting pada akhirnya mereka menikah, memiliki anak-anak yang lucu dan hidup bahagia.”

Aku masih terperangah mendengar ceritanya. Mungkin seumur hidup aku takkan pernah memaafkan diri sendiri karena berani menerobos masuk ke rumah sederhana ini, kalau dilihat lagi, sumpah sama sekali tak ada hal yang menarik, kecuali saat pikiranku melayang ke negeri dibalik pelangi, dipenuhi khayalan-khalayan bodoh tentang lelaki misterius yang hidup sendiri  dan hanya aku yang bisa meluluhkan hatinya. BEGO! Ingin menagis saja rasanya. Aku kehilangan impianku, dan lebih parah, aku kehilangan keindahan dongeng yang kupuja selama ini. Dongeng yang membuatku percaya bahwa ada sebuah negeri yang indah ditempat tak terjamah, negeri yang bisa didatangi tanpa harus berbasa-basi.

“Aku hanya menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi, kalau kau mau percaya silahkan, bila tidak, juga tak apa. Mungkin lebih baik bila kau tetap percaya dengan indahnya negeri dongeng seperti yang kau ketahui selama ini,” katanya sambil terkekeh.

“kalau begitu, lebih baik dari awal tak perlu cerita!”

“aku tak pernah memaksamu untuk mendengarku,”

Dia benar,  seharusnya tadi aku langsung pergi meninggalkan nenek gila ini sendiri, aku masih tak mau mengakuinya sebagai Peter Pan.

“Sudahlah anak muda, tak semua kenyataan harus berjalan seperti apa yang kita inginkan. Di negerimu itu hanya sebuah cerita, percayai saja apa yang ingin kau percayai.”

Aku bisa saja tidak mempercayainya, tapi entah kenapa rasanya sangat sulit untuk kembali pada kisah indah yang kucintai selama ini. Layaknya lukisan yang tiba-tiba ditumpahi cat hitam di seluruh kanvasnya dan tak mungkin kembali seperti semula. Dia kembali terkekeh, aku semakin muak dan mulai menagis tersedu sedan hingga tak tahu lagi apa yang terjadi.

“Hey, kamu baik-baik aja?” seseorang menepuk-nepuk bahuku. Mungkin nenek sihir tadi, aku enggan membuka mata.

“Hey, kamu baik-baik aja?” dia mengulang pertanyaannya, ternyata suara pria. Aku berdebar, bukan debaran yang biasa dirasakan saat sedang jatuh cinta, tapi debaran yang biasa muncul saat sedang merasa takut. Aku khawatir kalau pria ini adalah salah satu penghuni negeri dongeng yang ikut kabur kemari dan tiba-tiba mengaku bahwa dirinya adalah Cinderella, Red Riding Hood, Snow White, Rapunzel, atau siapapun itu yang kukenal sebagai tokoh perempuan selama ini. Aku memang takut, tapi juga tak mungkin begini selamanya. Dengan perlahan kubuka mataku.

“kamu siapa?” tanyaku hati-hati, mempersiapkan diri atas jawaban yang tak ingin kudengar. Dia tersenyum, “harusnya aku yang nanya kamu itu siapa, aku Elang,” katanya

“Huaaah… Aku lega,"

“Hmm?”

“Eh, maksudnya aku Jingga,” buru-buru aku meralat, aku tak ingin dia mengira aku anak aneh yang bernama LEGA, tapi sumpah aku lega sekali namanya bukan Cinderella atau Thumbelina yang tiba-tiba meminum obat peninggi badan yang didapat dari Alice

“Kok bisa nyasar ke rumahku? Kayaknya aku selalu mengunci pintu deh”

“Ini rumahmu?” kuabaikan pertanyaannya dan malah balik bertanya.

“Iya, tapi aku jarang tinggal disini, kalau lagi berantem sama orangtua aja baru minggat kemari,” dia nyengir, tapi menurutku itu nyengir yang paling indah yang pernah kulihat. Aku kembali berdebar, bukan debaran yang biasa muncul saat sedang merasa takut, tapi debaran yang biasa dirasakan saat sedang jatuh cinta.

“Nenek yang jagain rumah ini kemana ya?”

“Nenek?”

“Iya, yang menawarkan daging rusa men-tah atau di-ma-sak,” aku mulai curiga pada si tua itu. Dia tertawa, oh gantengnya, hatiku semakin berdebar. “sepertinya kamu kebanyakan tidur, makanya mimpi yang aneh-aneh” katanya. Tapi aku yakin itu bukan mimpi, semuanya nyata. Di sudut ruangan, kulihat seorang pria bungkuk terkekeh sendiri dan menghilang di dalam gelap. Oh, pantas saja pintunya selalu terbuka. Bodohnya aku percaya pada si penipu  yang suka menyamar itu.

Dalam dongeng, aku selalu yakin bahwa si pria bungkuk tak sejahat yang diceritakan, tapi setelah berjumpa langsung dengannya, dia ternyata lebih jahat dari yang dikira orang-orang selama ini. Satu kasus terpecahkan, dia bukan Peter Pan. Tapi bagaimana dengan kisah lainnya? Entahlah, Sepertinya menyenangkan juga saat kita punya cerita dengan versi yang berbeda dan menyimpannya dalam kotak rahasia yang tak diketahui sesiapa. aku tak lagi peduli mana cerita yang benar dan yang tidak, karena aku sudah memiliki pangeranku sendiri disini, tanpa harus kehilangan sepatu kiri atau tidur bertahun-tahun dalam penantian yang tak pasti. Aku menarik kembali kata-kataku. Mungkin benar, pria bungkuk itu tidak terlalu jahat.


*iseng-isengan dini hari yang diposting sore hari*



Back to Top