MADRE
Diantara para penulis di Indonesia, Dewi Lestari (Dee) adalah salah satu yang aku favoritiiiin banget, dia punya ciri khas sendiri, banyak bercerita tentang kehidupan, cinta, persahabatan, pencarian, penemuan, dan hal-hal kayak gitu. Aku baca semua bukunya, mulai dari Filosofi Kopi, serial Supernova (Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, Akar, Petir), Rectoverso, Perahu Kertas, Madre. Dan semua aku suka. Dia slalu mampu menghadirkan sesuatu yang berbeda. Bahkan hampir di tiap cerpennya aku pasti bisa menemukan emosi baru. Nah, kali ini yang pengen dibahas adalah MADRE, kumpulan cerita terbaru Dee.
Buku ini terdiri dari 13 cerita, 5 cerpen (1 diantaranya "Madre" lebih pantes disebut novelet) dan lainnya prosa pendek. Kalo untuk cerpen, saya suka Madre, Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan, Have you ever dan Menunggu Layang-Layang, kali ini aku nulis beberapa bagian yang disuka dan yang lucu yaaa:
1. Madre. Mungkin kalau dilihat dari ceritanya emang agak ringan, bukan tema serius yang bikin kening berkerut, dan Dee juga gak terlalu banyak menggunakan kata-kata kiasan indah, palingan cuma di bagian awalnya aja yang agak dramatis. Sumpah, kirain ini cerita bakal disajikan dengan kata-kata yang kayak gitu semua, tapi ternyata enggak, Dee menggabungkan bahasa ‘ngobrol’ dengan bahasa ‘sastra’ dan aku sukaaaaa... Dee slalu mampu menghadirkan lelucon seger yang bikin aku ngakak. dan Tansen, ya dia lucuuu... suka liburan, males bangun pagi, gak suka rutinitas kecuali rutinitas ngeblog, spontan, gak suka ribet, ah kalo aja aku gak ketemu Che, pasti Tansen jadi cowok paling disuka di buku ini. Hahaha.. banyak kata-kata yang aku suka, tapi yang paling berkesan itu, "Wangi kopi memenuhi udara,menyegarkan ruangan bagai kecupan Pangeran yang membangunkan Putri Tidur yang berabad lamanya terlelap.” (halaman 6-7), mungkin orang lain bahkan gak peduli, tapi aku slalu jatuh cinta saat penulis membuat kiasan yang menyerempet negeri dongeng atau cerita yang udah dikenal banyak orang. plus aku pencinta kopi. saat kopi dan dongeng bersatu, maka akan jadi sempurna.
2. Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan. Gak tau kenapa aku ngerasa tokoh penulis yang dihadirkan oleh Dee disini, kayak menggambarkan dirinya sendiri. Dan bahkan di tema yang serius kayak gini pun Dee masih bisa melucu,
(Demi sopan santun, aku tahankan garpu agar tak mencelat ke bola matanya dan kugenggam erat-erat piringku agar tak pecah jadi dua di batok kepala wartawan itu. Aku hanya menggeram dan mengulang, “Cinta?”)
Entahlah, apa selera humorku yang aneh atau gimana, tapi yang jelas itu bagian yang lucu banget menurutku. Plus di ending ceritanya, paragraph terakhir, "Artikel itu kemudian terbit. Tanpa baris-baris kalimat. Hanya gambar besar semangkok acar bawang. Dan mereka yang membacanya menyangka itu resep afrodisiak. Mereka lalu melahap semangkok acar bawang, bercinta, sambil terus bertanya-tanya: apa itu Cinta? Apa itu Tuhan?"
Buat yang belum baca ceritanya, mungkin bertanya-tanya: apa menariknya? Dimana lucunya? tapi buat yang udah baca, pasti tau kenapa kalimat itu jadi lucu, atau mungkin bahkan juga gak tau. yasudahlah, intinya menurut aku itu lucu. *nyengir*
3. Have You Ever? Bercerita tentang pencarian dan penemuan. Kalo kamu jarang baca cerita yang gak ada pangkal gak ada ujung kayak gini, mungkin berasa “ini apaan sih? Ceritanya gak jelas” (kayak temenku yang nonton Before sunset/sunrise) tapi aku seperti punya koneksi kuat sama jenis yang beginian, bagian yang menurut aku lucu tuh ada di halaman 92:
Howard: “………… I mean, have you ever…?”
“Kamu benar-benar ingin tau pendapatku?” potong Darma, “I think, in the past three days, you’ve been talking some nerve-wrecking, poetic shit. Nothing more!” Dan tanpa rasa bersalah Darma menyeruput espresso-nya, “And I swear to God if you ever ask me…”
Howard: “Listen. Darma, have you ever…?”
Dan di halaman 97:
Howard: “It’s here,” “Kamu benar, Darma. It’s HERE. NOW.”
Darma: “What is?”
Howard: “The sign.”
Darma: “What sign?”
Howard: “Ini tanda yang dimaksud Cahaya! Bintang itu. Mercusuar ini. Kita berdua….”
Darma: “Kita berdua? Whoa. Take it easy, mate.”
Hahahahaha… bahkan saat nulis kalimat-kalimat diatas-pun aku tetep ketawa. Nah, kalo dialog favoritku, ada di halaman 85:
Howard: “What if it’s just a big cosmic joke?”
Darma: “Then laugh!”
Yup, apalagi yang bisa kita lakukan selain tertawa saat alam semesta menghadirkan leluconnya yang bahkan kadang-kadang gak terlalu lucu atau gak lucu sama sekali.
4. Menunggu Layang-Layang (ini berada di posisi paling puncak), makin dibaca makin suka. Alasannya adalah: karna Starla itu kayak aku, hahaha.. bukan keseluruhannya, tapi cuma dikiiit, yang pasti porsi Kugy masih mendominasi lah… *digebuk massa* tenaaang sodara-sodara,, kemiripan sama Starla bukan dari segi yang oke-oke kok, dan bukan di bagian gonta ganti pacar juga. tapi di bagian yang aneh-aneh, kayak gambaran Che tentang otak Starla yang udah kayak lukisan abstrak. Trus gak pedulian (minus punya efek penghisap perhatian). Suka nonton. Selera musik bagus (nah, kalo yang ini aku agak kepedean yak). Punya dunia sendiri. Ngelakuin apa yang disuka tanpa harus banyak mikir. Jarang merasa kehilangan.
Nah, kalo dari segi “jatuh cinta” aku lebih mirip Che, yang tau apa yang kumau, yang punya kriteria yang kompleks, bukan nyari yang sempurna, cuma yang sepemikiran aja, selera musik dan filmnya bagus, open-minded, gak ngetwit 5 menit sekali cuma buat update hal-hal pribadi, yang gak gila galau atau menye-menye, bukan type yang langsung heboh kalo ngeliat cewek cantik putih mulus dan lemah lembut, soalnya aku gak cantik, gak putih, dan gak lemah lembut, hahaha…
Balik ke Menunggu Layang-Layang, Salah satu bagian favorit:
Rako: “Pacar lo siapa sekarang, Chris?” (yak, saya lebih suka Christian dipanggil “Che”)
Che: *dalam hati* “Pertanyaan iblis. Iblis yang bersembunyi bagaikan selembar joker dalam tumpukan kartu. Satu-satunya kartu yang menyambutmu tertawa lebar, tak jelas itu ekspresi lucu atau melecehkan.”
Alasan suka: karna Dee memasukkan Joker dalam kalimatnya (formula yang sama kayak Putri tidur tadi) selain itu, aku suka bagian “tak jelas itu ekspresi lucu atau melecehkan.”
Aku juga suka dialog ini (halaman 146):
Starla: “Brownies itu nggak nikmat kalau nggak ditemani kopi,” “aku bikinin, ya?”
Che: “Satu kopi, dua gula, tiga krimmer,”
Starla: “Kopi banci. Yang enak itu: dua kopi, satu gula, nol krimmer.” (Nah, itu juga salah satu kemiripan antara aku dan starla, suka kopi yang agak kental, gak terlalu manis dan bukan kopi instan.)
Starla: “Kamu bukan gay kan?”, “Karena kalau iya, aku pasti udah tahu.”
Che: “ Kita berteman empat tahun lebih, starla. Keterlaluan kalau kamu nggak tahu prefensi seksualku.”
Starla: “Empat tahun lebih, tapi nggak pernah satu kali pun kamu kelihatan punya pacar. Mana yang lebih keterlaluan?”
Che: “Brownies ini enak.”
Starla: “kamu tuh pintar, baik, karier bagus, tampang keren, tapi, kok?”
Che: “Nggak kepikiran jualan kue aja, Star?”
Starla: “Come on, Che. Apa yang kamu cari sih sebetulnya?”
Che: “Kriteriaku kompleks. Oke?”
Starla: “Apa aja?”
Che: “Buat apa kamu tahu?”
Starla: “siapa tahu aku bisa mencalonkan diri.”
#eaaa hahahaha.. itu bagian yang bikin aku senyuuum waktu bacanya,
Dan di halaman 158 (ending cerita):
S: Kamu orang paling gila, Che.”
C: “Satu-satunya orang yang bisa mendampingi manusia nggak waras kayak kamu,”, “Nggak ada lagi layang-layang, kamu sekarang ikan lele.”
Sumpah, aku baru nyadar sekarang, sebenarnya yang bikin aku jatuh cinta sama “Menunggu Layang-Layang” itu bukan ceritanya, tapi dialog-dialognya.
Sekian review cerita yang aku suka di “MADRE”. kalo dari segi ceritanya emang lebih ringan dibandingkan dengan karya Dee yang lain, Kesimpulan berdasarkan opini pribadi-ku, MADRE emang gak se-wah filosofi kopi, tapi masih tampil sexy dan bikin senyum atau ketawa ngakak sendiri. Karena dalam sebuah karya tulis, kadang-kadang cerita jadi substansi no 2, yang pertama adalah bagaimana si penulis mampu membangun emosi antara tulisannya dengan para pembaca.
0 komentar:
Post a Comment