DO YOU BELIEVE IN FAIRY TALES?
Rumah  itu sunyi, bukan karena tak berpenghuni, hanya jarang dikunjungi.  Pemiliknya seperti tak bernyawa, cuma singgah saat malam tiba, itupun  tanpa banyak kata-kata. Tapi anehnya, aku selalu datang dan kembali ke  tempat itu, entah mengapa rasanya begitu nyaman, bagai melihat diri  sendiri, bahkan saat si penghuni sudah tak datang berhari-hari, aku  tetap menghampiri dan melihat segala sesuatu yang ada disana sini tanpa  meninggalkan secuil jejak kaki, dan juga tak berani terlalu jauh  menyelidiki, karena aku takut, takut pada sosok yang bahkan tak  kukenali. 
Aku  pernah mendengar cerita suram tentang si pemilik rumah, ada yang  mengatakan bahwa dia adalah makhluk keras hati yang selalu ingin  bersembunyi, yang tak pernah bisa mencintai orang lain melebihi dirinya  sendiri, bahkan bila dihadapkan dengan perempuan paling cantik di dunia  sekalipun. Dia bagai patung es, dingin, tapi juga indah. Ada juga yang  mengatakan bahwa dia sosok pemarah yang tak kenal ampun, siapapun akan  dibantai bila ada yang tak berkenan dihatinya. Dan cerita yang paling  popular adalah bahwa dia pangeran tampan yang dikutuk menjadi makhluk  buruk rupa oleh seorang peri yang merasa sakit hati karena ditolak  cintanya. Entah mana yang benar aku tak tahu pasti, semua cerita itu  membuatnya semakin misterius. Diam-diam aku suka datang kerumah ini dan  berharap dia tak pernah tahu kedatanganku, atau sebenarnya aku berharap  dia tahu. Entahlah, aku tak mengerti. Hingga pada suatu hari ada  seseorang yang memegang pergelangan tanganku saat aku sedang  mengendap-ngendap tanpa suara, genggamannya sangat kuat, sampai-sampai  aku takut tulangku akan rontok. Saat dia keluar dari persembunyiannya,  aku kaget bukan main dan sekaligus kecewa tentu saja. Pemilik rumah yang  kukira lelaki tampan misterius, ternyata hanyalah seorang nenek yang  sangat ringkih, dia mirip sekali dengan penyihir dalam cerita Hansel  & Gretel, bedanya rumah ini tidak terbuat dari kue yang lezat. Aku  ketakutan. Dia terkekeh memperlihatkan barisan giginya yang kuning. Aku  meringis. Tawanya semakin keras.
“mau kumakan hidup-hidup, atau dimasak dulu?”
Entah  mana yang lebih baik, tapi yang jelas kedua pilihan itu sama sekali tak  menarik. Seandainya bisa memilih, aku ingin disihir menjadi kodok saja,  siapa tahu akan ada pangeran tampan yang mau menciumku, dan akupun akan  berubah menjadi putri yang cantik jelita. Ya, tentu saja itu tidak  mungkin, wujud manusiaku tak bisa dikatagorikan sempurna, apalagi bila  sudah sempat bertransformasi menjadi kodok, paling-paling masih tersisa  bentuk kodok pada tubuhku. Ah aku benar-benar tak bisa berpikir jernih  saat ini.
“hey anak muda, kenapa tak menjawab pertanyaanku? Kau mau rusa itu dimakan mentah-mentah atau dimasak dulu?”
Ha!  Kenapa sekarang pertanyaannya berbeda? Atau mungkin akulah yang salah  dengar? Tapi tetap saja pertanyaannya tidak normal. “Aku… tidak lapar,”  jawabku pelan.
“kalau bukan mencari makanan, lalu apa yang kau cari di rumah ini?”
Nah,  kalau itu pertanyaannya, aku bisa menjawab dengan pasti, “Aku mencari  pemilik rumah ini,” (dengan asumsi, nenek aneh itu adalah pembantu yang  menawarkan makanan pada siapa saja yang datang kemari). Dia terkekeh,  “lalu kau kira aku ini siapa?”
“Tapi….  tapi berita yang tersebar katanya pemilik rumah ini adalah lelaki  tampan yang dikutuk oleh peri,” Tawa nenek itu semakin menjadi-jadi,  memperlihatkan gigi kuning yang lebih banyak lagi. Aku heran, dia sudah  tua tapi giginya masih utuh, mungkin itu pengaruh sihir.
“Nak,  kalau kau mau bertemu dengan The Beast, atau Ksatria yang bernafsu  mencium perempuan yang suka tidur berlama-lama, atau ingin mencari  pangeran tampan yang terobsesi pada pembantu yang kehilangan sebelah  sepatunya, maka jangan datang kerumah ini, Pergilah ke negeri dongeng.  Siapa tau kau akan bertemu dengan 7 kurcaci dan mereka akan menjadikanmu  ratunya, tapi 1 hal yang harus kau ketahui, negeri dongeng tidaklah  seindah yang kau bayangkan. Kenyataan yang ada disana kadang-kadang  berbanding terbalik dengan apa yang dikisahkan selama ini.” Dia terkekeh  lagi.
“Tau darimana?”
“Aku menghabiskan waktuku disana, sebelum akhirnya memutuskan untuk pindah kemari,”
“Di  sana nenek jadi siapa? Ibu tiri yang jahat? atau penyihir yang  menculik Rapunzel? Yang pasti bukan Cinderella atau Snow White yang  cantik jelita,” aku menahan tawa.
“Peter Pan” jawabnya tiba-tiba.
“Hah? Maksudnya?”
“Ya, Aku adalah Peter Pan,”
“Semua orang tahu Peter Pan itu laki-laki”
“Itukan  apa yang diceritakan. Kau kira kenapa Wendy meninggalkanku? katanya dia  ingin menikah dengan lelaki dan mempunyai anak-anak yang lucu. Tak  kusangka pria itu adalah Kapten Hook yang sama sekali tidak tampan.  itulah alasan sebenarnya kenapa aku sangat membenci bajak laut itu.”
Aku  tak mau dengar, Aku tak mau percaya, Aku benar-benar menyesal bertanya  padanya. Peter Pan adalah salah satu tokoh dongeng favoritku, dulu waktu  masih kecil, aku sempat jatuh cinta padanya, hingga usiaku bertambah  dan aku mulai jatuh cinta pada tokoh dongeng yang lebih dewasa. Nenek  ini benar-benar menghancurkan semua bayanganku tentang indahnya  Neverland.
“Kau  boleh saja tak percaya, tapi itulah kenyataannya. Aku tidak bohong.  Wendy membuatku patah hati, lalu aku memutuskan untuk pindah kemari, dan  akhirnya menjadi perempuan tua dalam seketika.”
“Kau mau tahu cerita yang lainnya?”
Walaupun  aku tak ingin khayalanku diacak-acak, tapi tak tahu kenapa, aku malah  tak bisa berkata apa-apa. Sehingga dia mengartikan diamku sebagai  jawaban iya. Terkutuklah pepatah “diam itu emas.”
“The  Beast mati sia-sia, karena Belle tak pernah mencintainya dengan tulus,  dia hanya mencoba menarik perhatian lelaki malang itu supaya bisa  mengambil alih kekayaan dengan tenang tanpa gangguan. bayangkan saja,  perempuan cantik mana yang bisa jatuh cinta pada lelaki berkepala  singa?”
“Cinderella  tetaplah menjadi upik abu. saat pangeran datang, kakinya baru saja  terkilir dan membengkak sehingga sepatu itu tidak muat, sedangkan yang  sebelahnya lagi tak tahu dia letakkan dimana, anak itu memang ceroboh  dan agak kikuk,”
“Ibu  tiri snow white tidaklah sejahat yang diceritakan selama ini, dia tidak  pernah memberikan apel beracun itu. Terakhir aku berada disana, Snow  White masih mengasuh 7 kurcaci, pangeran sama sekali tak berniat  mencarinya dan malah menikahi si ibu tiri. Ternyata gosip itu benar,  pria itu suka pada wanita yang lebih tua.”
“Dan  Aurora, tidak pernah bangun dari tidur panjangnya. Dulu pada masa awal  hibernasi, ada seorang ksatria yang menciumnya penuh nafsu, tiba-tiba  dia terbangun dan menampar lelaki malang itu. Dia marah karena tidurnya  terganggu dan mimpinya terputus. Tapi setelah bertahun-tahun tak ada  lagi yang mau menciumnya. Mana ada lelaki yang selera mencium perempuan  dengan air liur dimana-mana dan penuh debu, seperti mannequin yang tak  pernah dipajang dan dibiarkan membusuk di dalam gudang.”
“Siapa  lagi yang ingin kau ketahui? Si kecil Thumbelina? Dia benar-benar  seorang gadis petualang, syukurlah dia berhasil bertemu dengan pangeran  negeri bunga. Asal tau saja, itu satu-satunya cerita yang sama dengan  kisah aslinya, walaupun di negeri kalian tidak pernah diceritakan bahwa  pria itu sempat selingkuh beberapa kali, maklumlah dia tampan dan banyak  yang suka. Thumbelina terpaksa bertengkar dengan beberapa peri bunga  perempuan untuk mendapatkan hati pangeran secara utuh, tapi yang penting  pada akhirnya mereka menikah, memiliki anak-anak yang lucu dan hidup  bahagia.”
Aku  masih terperangah mendengar ceritanya. Mungkin seumur hidup aku takkan  pernah memaafkan diri sendiri karena berani menerobos masuk ke rumah  sederhana ini, kalau dilihat lagi, sumpah sama sekali tak ada hal yang  menarik, kecuali saat pikiranku melayang ke negeri dibalik pelangi,  dipenuhi khayalan-khalayan bodoh tentang lelaki misterius yang hidup  sendiri  dan hanya aku yang bisa meluluhkan hatinya. BEGO!  Ingin menagis saja rasanya. Aku kehilangan impianku, dan lebih parah,  aku kehilangan keindahan dongeng yang kupuja selama ini. Dongeng yang  membuatku percaya bahwa ada sebuah negeri yang indah ditempat tak  terjamah, negeri yang bisa didatangi tanpa harus berbasa-basi.
“Aku  hanya menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi, kalau kau mau percaya  silahkan, bila tidak, juga tak apa. Mungkin lebih baik bila kau tetap  percaya dengan indahnya negeri dongeng seperti yang kau ketahui selama  ini,” katanya sambil terkekeh.
“kalau begitu, lebih baik dari awal tak perlu cerita!”
“aku tak pernah memaksamu untuk mendengarku,”
Dia benar,  seharusnya tadi aku langsung pergi meninggalkan nenek gila ini sendiri, aku masih tak mau mengakuinya sebagai Peter Pan.
“Sudahlah  anak muda, tak semua kenyataan harus berjalan seperti apa yang kita  inginkan. Di negerimu itu hanya sebuah cerita, percayai saja apa yang  ingin kau percayai.”
Aku  bisa saja tidak mempercayainya, tapi entah kenapa rasanya sangat sulit  untuk kembali pada kisah indah yang kucintai selama ini. Layaknya  lukisan yang tiba-tiba ditumpahi cat hitam di seluruh kanvasnya dan tak  mungkin kembali seperti semula. Dia kembali terkekeh, aku semakin muak  dan mulai menagis tersedu sedan hingga tak tahu lagi apa yang terjadi.
“Hey, kamu baik-baik aja?” seseorang menepuk-nepuk bahuku. Mungkin nenek sihir tadi, aku enggan membuka mata.
“Hey,  kamu baik-baik aja?” dia mengulang pertanyaannya, ternyata suara pria.  Aku berdebar, bukan debaran yang biasa dirasakan saat sedang jatuh  cinta, tapi debaran yang biasa muncul saat sedang merasa takut. Aku  khawatir kalau pria ini adalah salah satu penghuni negeri dongeng yang  ikut kabur kemari dan tiba-tiba mengaku bahwa dirinya adalah Cinderella, Red Riding Hood, Snow White, Rapunzel, atau siapapun itu  yang kukenal sebagai tokoh perempuan selama ini. Aku memang takut, tapi  juga tak mungkin begini selamanya. Dengan perlahan kubuka mataku.
“kamu  siapa?” tanyaku hati-hati, mempersiapkan diri atas jawaban yang tak  ingin kudengar. Dia tersenyum, “harusnya aku yang nanya kamu itu siapa,  aku Elang,” katanya
“Huaaah… Aku lega,"
“Hmm?”
“Eh,  maksudnya aku Jingga,” buru-buru aku meralat, aku tak ingin dia mengira  aku anak aneh yang bernama LEGA, tapi sumpah aku lega sekali namanya  bukan Cinderella atau Thumbelina yang tiba-tiba meminum obat peninggi  badan yang didapat dari Alice
“Kok bisa nyasar ke rumahku? Kayaknya aku selalu mengunci pintu deh”
“Ini rumahmu?” kuabaikan pertanyaannya dan malah balik bertanya.
“Iya,  tapi aku jarang tinggal disini, kalau lagi berantem sama orangtua aja  baru minggat kemari,” dia nyengir, tapi menurutku itu nyengir yang  paling indah yang pernah kulihat. Aku kembali berdebar, bukan debaran yang biasa muncul saat sedang merasa takut, tapi debaran yang biasa dirasakan saat sedang jatuh cinta.
“Nenek yang jagain rumah ini kemana ya?” 
“Nenek?”
“Iya,  yang menawarkan daging rusa men-tah atau di-ma-sak,” aku mulai curiga  pada si tua itu. Dia tertawa, oh gantengnya, hatiku semakin berdebar.  “sepertinya kamu kebanyakan tidur, makanya mimpi yang aneh-aneh”  katanya. Tapi aku yakin itu bukan mimpi, semuanya nyata. Di sudut  ruangan, kulihat seorang pria bungkuk terkekeh sendiri dan menghilang di  dalam gelap. Oh, pantas saja pintunya selalu terbuka. Bodohnya aku  percaya pada si penipu  yang suka menyamar itu.
Dalam  dongeng, aku selalu yakin bahwa si pria bungkuk tak sejahat yang  diceritakan, tapi setelah berjumpa langsung dengannya, dia ternyata  lebih jahat dari yang dikira orang-orang selama ini. Satu kasus  terpecahkan, dia bukan Peter Pan. Tapi bagaimana dengan kisah lainnya?  Entahlah, Sepertinya menyenangkan juga saat kita punya cerita dengan  versi yang berbeda dan menyimpannya dalam kotak rahasia yang tak  diketahui sesiapa. aku tak lagi peduli mana cerita yang benar dan yang  tidak, karena aku sudah memiliki pangeranku sendiri disini, tanpa harus  kehilangan sepatu kiri atau tidur bertahun-tahun dalam penantian yang  tak pasti. Aku menarik kembali kata-kataku. Mungkin benar, pria bungkuk  itu tidak terlalu jahat.
*iseng-isengan dini hari yang diposting sore hari*
 
 Diposting oleh
Diposting oleh
 




